KEPALA SEKOLAH SMA BUDI MURNI-1 : DRA. R. ISTI BANDARANI
Selamat Datang di Blog khusus ini.
Blog ini kami siapkan untuk tempat berbagi pengalaman dan sharing berbagai hal demi kemajuan dan kejayaan SMA Budi Murni - 1 Medan.
Saran dan Kritik yang membanguntentu sangat kami harapkan...terlebih saran-saran dan kritik yang membangun.
Sabtu, 07 November 2009
OPRAH WINFREY
Anda semua barangkali sudah kenal “OPRAH WINFREY”...dia seorang presenter paling populer di Amerika...yang acara2nya juga ditayangkan selalu di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. OPRAH selain presenter terpopuler...dia juga tergolong wanita selebritis terkaya versi majalah Forbes, konon..kekayaannya lebih dari US $ 1 milyar.....wah spektakuler kan....Bagaimana tidak...acaranya tidak hanya ditayangkan di Amrik sana...konon juga copy acara “The Oprah Winfrey Show” diputar di hampir seantero penjuru dunia ini.
OPRAH ..lahir di Mississipi. Kedua orangtuanya merupakan pasangan Afro-Amerika. Nama ayahnya Oprah Gail Winfrey, seorang mantan serdadu yang kemudian menjadi ‘tukang cukur’,. Ibunya bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga. Tapi di kemudian hari kedua orangtuanya bercerai. Oprah kecil pun diasuh oleh neneknya yang tinggal di suatu kawasan kumuh dan sangat miskin.
Oprah kecil memang sudah menunjukkan sifat luar biasa sejak kecil. Kawan2 bayangin aja....di umur 3 tahun dia sudah dapat membaca Injil dengan keras.
"Membaca adalah gerai untuk mengenal dunia" katanya dalam suatu wawancaranya.
Perjalanan hidup Oprah kecil ternyata tidaklah menyenangkan...dan tidak semua masa kecilnya membahagiakan.
Pada usia 9 tahun, Oprah mengalami pelecehan sexual, dia diperkosa oleh saudara sepupu ibunya sendiri bersama teman-temannya dan kejadian itu terjadi berulang kali.
Di usia 13 tahun Oprah harus menerima kenyataan hamil dan melahirkan, namun bayinya meninggal dua minggu setelah dilahirkan.
Setelah kejadian itu, Oprah lari ke rumah ayahnya di Nashville . Ayahnya mendidiknya dengan sangat keras dan disiplin tinggi. Oprah yang menganjak usia remaja diwajibkan membaca buku dan membuat ringkasannya setiap pekan. Walaupun tertekan berat, namun kelak disadarinya bahwa didikan keras inilah yang menjadikannya sebagai wanita yang tegar, percaya diri dan berdisiplin tinggi.
Prestasinya sebagai siswi teladan di SMA membawanya terpilih menjadi wakil siswi yang diundang ke Gedung Putih. Beasiswa pun di dapat saat memasuki jenjang perguruan tinggi. Oprah pernah memenangkan kontes kecantikan, dan saat itulah pertama kali dia menjadi sorotan publik..
Karirnya dimulai sebagai penyiar radio lokal saat di bangku SMA. Karir di dunia TV dia bangun diusia 19 tahun. Jadilah Oprah menjadi wanita negro pertama dan termuda sebagai pembaca berita stasiun TV lokal tersebut.
Oprah memulai debut talkshow TVnya dalam acara People Are Talking. Dan keputusannya untuk pindah ke Chicago lah yang akhirnya membawa Oprah ke puncak karirnya. The Oprah Winfrey Show menjadi acara talkshow dengan rating tertinggi berskala nasional yang pernah ada dalam sejarah pertelevisian di Amerika. Sungguh luar biasa!
Latar belakang kehidupannya yang miskin, rawan kejahatan dan diskriminatif, mengusik hatinya untuk berupaya membantu sesama. Tayangan acaranya di telivisi selalu sarat dengan nilai kemanusiaan, moralitas dan pendidikan. Oprah sadar, bila dia bisa mengajak seluruh pemirsa telivisi, maka bersama pemirsa, dia akan mudah mewujudkan segala impiannya demi membantu mereka yang tertindas.
Oprah juga dikenal dengan kedermawanannya. Berbagai yayasan telah disantuni, antara lain, rumah sakit dan lembaga riset penderita AIDs, berbagai sekolah, penderita ketergantungan, penderita cacat dan banyak lagi.
Dan yang terakhir, pada 2 januari 2007 lalu, Oprah menghadiri peresmian sekolah khusus anak-anak perempuan di kota Henley-on-Klip, di luar Johannes Burg, Afrika Selatan, yang didirikannya bersama dengan pemirsa acara televisinya. Oprah menyisihkan 20 juta pounsterling ( 1 pons kira2 rp. 17.000,- ) atau 340 milyiar rupiah dari kekayaannya. "Dengan memberi pendidikan yang baik bagi anak2 perempuan ini, kita akan memulai mengubah bangsa ini" ujarnya berharap.
Kisah Oprah Winfrey ialah kisah seorang anak manusia yang tidak mau meratapi nasib. Dia berjuang keras untuk keberhasilan hidupnya, dan dia berhasil.
Dia punya mental baja dan mampu mengubah nasib, dari kehidupan nestapa menjadi manusia sukses yang punya karakter. Semangat perjuangannya pantas kita teladani!
Semoga kisah OPRAH WINFREY ini dapat menginspirasi kalian anak2ku SMA BOEMSA untuk bangkit...berjuang...dan bermimpi meraih cita2 dan masa depanmu. GBU.
Rabu, 04 November 2009
Kejahatan Yang Sempurna
Kompas (25/06/2008)
Penyangkalan atas fakta atau memindahkan makna dari fakta telah menjadi tren dalam pentas kasus di negeri ini. Kasus-kasus sidang penyuapan jaksa, dugaan pelecehan seksual, dan konspirasi pembunuhan berjalan sangat rumit dan berlika-liku.
Pertanyaannya, masih adakah kebenaran? Selalu ada fakta dan bukti yang gugur meski jelas dari pemikiran awam bahwa fakta itu mengandung kebenaran. Kita juga melihat, adagium utopis ”kejahatan yang sempurna” (perfect crime) benar-benar ada.
Kejahatan sempurna bukan epos tentang penjahat yang tidak pernah tertangkap penegak hukum dan mempertanggungjawabkannya dengan menjalani hukuman. Kejahatan sempurna adalah kejahatan terorganisasi dan dilakukan oleh pengambil keputusan dari institusi legal. Institusi yang rentan untuk melakukannya adalah aparatus negara.
Pembeda utama antara mafia dan aparat negara adalah soal legalitas. Dari sisi di mana pembuat dan pelaksana hukum berdiri, sebuah organisasi mafia adalah ilegal dan melanggar hukum.
Sophistokrat
Bagaimana jika aparat negara menjadi penjahat? Dengan kekuasaannya, mereka akan meyakinkan publik bahwa semua tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah keliru. Mereka akan menjadi sophistokrat.
Plato dalam Republic menggambarkan sophist sebagai a sort of wizard atau seorang imitator hal paling nyata. Mereka bukan produsen kebenaran meski amat memahami diktum kebenaran. Mereka hanya memberi kesan kebenaran itu sendiri (Phaedrus, 275b, 276a).
Kecanggihan dalam memanipulasi dan selalu mempertanyakan kebenaran membuat kabur hubungan fakta dan kebenaran. Jika kita terbius keyakinan bahwa segala sesuatu tentang fakta adalah ilusi, mereka berhasil. Kebenaran lalu menjadi soal yang bisa dinegosiasikan.
Orang-orang sophis selalu berbicara tentang hantu, pengingkaran, dan penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar (Deleuze, 1994:127).
Di berbagai ruang, institusi di republik ini telah dipenuhi sophistokrat. Mereka mempunyai lingkaran dengan berbagai profesi yang sejatinya hanya kamuflase. Semakin banyak hal yang secara faktual benar lalu menjadi lenyap dan berganti makna. Demikian juga dengan argumentasi yang mereka bangun akan dengan mudah dipercayai meski tidak masuk akal.
Apakah rakyat dan publik harus disalahkan karena membiarkan mereka berjaya? Tidak mudah menjawabnya karena mereka menguasai instrumen kekuasaan. Letak kehebatan para sophistokrat adalah kepiawaian melakukan dekonstruksi atas usaha-usaha meletakkan fondasi bagi konsensus kebenaran dan norma- norma moral di atas tatanan hukum dan politik. Prestasi besar mereka adalah membuat kebenaran menjadi hal yang seolah-olah benar.
Konsensus kebenaran
Sulitkah menentukan kebenaran? Filsuf Giambatista Vico (1965) memercayai, sensus communis (common sense) merupakan awal yang baik untuk menjelajah kebenaran dan menjadi dasar bagi konsep kebijaksanaan. Namun, yang kini terlihat adalah perlombaan seni berbicara (retorika) daripada menyatakan hal yang sesungguhnya (right thing).
Kebenaran sendiri terlalu paradoksal dan dilematis diperdebatkan. Akan tetapi, kita harus menyetujui tatanan kebenaran. Konsensus kebenaran harus diletakkan di aras kepentingan publik dan persepsi mereka atas kondisi politik dan hukum yang moralis.
Kebenaran publik tentu menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada kebenaran sektarian meski kebenaran publik bisa berubah seiring waktu.
Kita dihadapkan persoalan yang belum terselesaikan oleh agenda demokratisasi pasca-Orde Baru. Pelembagaan civil society yang belum kuat merupakan sebab gagalnya konsolidasi sipil untuk meletakkan batas-batas moralitas yang haus dipenuhi penyelenggara negara.
Perubahan dalam internal institusi, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun konstitutif, cenderung berjalan tanpa kontrol. Yang tampak adalah diorama pertarungan antar keluarga gajah dan masyarakat menjadi pelanduk yang hampir mati di tengah arena mereka.
Bagaimana melakukan model pelembagaan konsensus? Setidaknya ada tiga hal penting.
Pertama, memulihkan agenda penguatan civil society yang bisa mengelola perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok di dalamnya. Jaminan negara atas perbedaan pendapat harus ditepati. Dalam pembuatan regulasi, hak-hak konstitusional warga atas kebebasan dan pertanggungjawaban harus dikedepankan.
Kedua, membangun mekanisme keseimbangan kekuasaan dan saling kontrol antarinstitusi negara. Tidak boleh ada institusi yang mempunyai kewenangan lebih besar dari yang lain. Masing-masing harus mempunyai kewenangan sebagai eksekutor. Hal yang penting adalah membuat mekanisme yang mampu meniadakan tawar-menawar antar institusi negara dalam rangka membela kepentingan yang bersifat pribadi masing-masing.
Ketiga, meletakkan landasan normatif bangsa dan negara sebagai acuan yang selalu mempunyai relevansi bagi kinerja institusi negara dan bisa dijadikan pegangan. Semangat kebenaran yang berlaku universal bisa menjadi pegangan informal. Hal itu menjelma menjadi suara hati dari nurani yang amat menentukan pilihan-pilihan politiknya.
Para sophistokrat adalah aktor kejahatan yang sempurna. Jangan sampai mereka membuat negara dengan segenap institusinya sebagai panggung dari sandiwara perdebatan tanpa usai. Sementara rakyat hanya menjadi penonton yang harus membayar mahal untuk pementasan yang sama sekali tidak bermutu.
M Faishal Aminuddin Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian INDIGO
Penyangkalan atas fakta atau memindahkan makna dari fakta telah menjadi tren dalam pentas kasus di negeri ini. Kasus-kasus sidang penyuapan jaksa, dugaan pelecehan seksual, dan konspirasi pembunuhan berjalan sangat rumit dan berlika-liku.
Pertanyaannya, masih adakah kebenaran? Selalu ada fakta dan bukti yang gugur meski jelas dari pemikiran awam bahwa fakta itu mengandung kebenaran. Kita juga melihat, adagium utopis ”kejahatan yang sempurna” (perfect crime) benar-benar ada.
Kejahatan sempurna bukan epos tentang penjahat yang tidak pernah tertangkap penegak hukum dan mempertanggungjawabkannya dengan menjalani hukuman. Kejahatan sempurna adalah kejahatan terorganisasi dan dilakukan oleh pengambil keputusan dari institusi legal. Institusi yang rentan untuk melakukannya adalah aparatus negara.
Pembeda utama antara mafia dan aparat negara adalah soal legalitas. Dari sisi di mana pembuat dan pelaksana hukum berdiri, sebuah organisasi mafia adalah ilegal dan melanggar hukum.
Sophistokrat
Bagaimana jika aparat negara menjadi penjahat? Dengan kekuasaannya, mereka akan meyakinkan publik bahwa semua tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah keliru. Mereka akan menjadi sophistokrat.
Plato dalam Republic menggambarkan sophist sebagai a sort of wizard atau seorang imitator hal paling nyata. Mereka bukan produsen kebenaran meski amat memahami diktum kebenaran. Mereka hanya memberi kesan kebenaran itu sendiri (Phaedrus, 275b, 276a).
Kecanggihan dalam memanipulasi dan selalu mempertanyakan kebenaran membuat kabur hubungan fakta dan kebenaran. Jika kita terbius keyakinan bahwa segala sesuatu tentang fakta adalah ilusi, mereka berhasil. Kebenaran lalu menjadi soal yang bisa dinegosiasikan.
Orang-orang sophis selalu berbicara tentang hantu, pengingkaran, dan penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar (Deleuze, 1994:127).
Di berbagai ruang, institusi di republik ini telah dipenuhi sophistokrat. Mereka mempunyai lingkaran dengan berbagai profesi yang sejatinya hanya kamuflase. Semakin banyak hal yang secara faktual benar lalu menjadi lenyap dan berganti makna. Demikian juga dengan argumentasi yang mereka bangun akan dengan mudah dipercayai meski tidak masuk akal.
Apakah rakyat dan publik harus disalahkan karena membiarkan mereka berjaya? Tidak mudah menjawabnya karena mereka menguasai instrumen kekuasaan. Letak kehebatan para sophistokrat adalah kepiawaian melakukan dekonstruksi atas usaha-usaha meletakkan fondasi bagi konsensus kebenaran dan norma- norma moral di atas tatanan hukum dan politik. Prestasi besar mereka adalah membuat kebenaran menjadi hal yang seolah-olah benar.
Konsensus kebenaran
Sulitkah menentukan kebenaran? Filsuf Giambatista Vico (1965) memercayai, sensus communis (common sense) merupakan awal yang baik untuk menjelajah kebenaran dan menjadi dasar bagi konsep kebijaksanaan. Namun, yang kini terlihat adalah perlombaan seni berbicara (retorika) daripada menyatakan hal yang sesungguhnya (right thing).
Kebenaran sendiri terlalu paradoksal dan dilematis diperdebatkan. Akan tetapi, kita harus menyetujui tatanan kebenaran. Konsensus kebenaran harus diletakkan di aras kepentingan publik dan persepsi mereka atas kondisi politik dan hukum yang moralis.
Kebenaran publik tentu menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada kebenaran sektarian meski kebenaran publik bisa berubah seiring waktu.
Kita dihadapkan persoalan yang belum terselesaikan oleh agenda demokratisasi pasca-Orde Baru. Pelembagaan civil society yang belum kuat merupakan sebab gagalnya konsolidasi sipil untuk meletakkan batas-batas moralitas yang haus dipenuhi penyelenggara negara.
Perubahan dalam internal institusi, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun konstitutif, cenderung berjalan tanpa kontrol. Yang tampak adalah diorama pertarungan antar keluarga gajah dan masyarakat menjadi pelanduk yang hampir mati di tengah arena mereka.
Bagaimana melakukan model pelembagaan konsensus? Setidaknya ada tiga hal penting.
Pertama, memulihkan agenda penguatan civil society yang bisa mengelola perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok di dalamnya. Jaminan negara atas perbedaan pendapat harus ditepati. Dalam pembuatan regulasi, hak-hak konstitusional warga atas kebebasan dan pertanggungjawaban harus dikedepankan.
Kedua, membangun mekanisme keseimbangan kekuasaan dan saling kontrol antarinstitusi negara. Tidak boleh ada institusi yang mempunyai kewenangan lebih besar dari yang lain. Masing-masing harus mempunyai kewenangan sebagai eksekutor. Hal yang penting adalah membuat mekanisme yang mampu meniadakan tawar-menawar antar institusi negara dalam rangka membela kepentingan yang bersifat pribadi masing-masing.
Ketiga, meletakkan landasan normatif bangsa dan negara sebagai acuan yang selalu mempunyai relevansi bagi kinerja institusi negara dan bisa dijadikan pegangan. Semangat kebenaran yang berlaku universal bisa menjadi pegangan informal. Hal itu menjelma menjadi suara hati dari nurani yang amat menentukan pilihan-pilihan politiknya.
Para sophistokrat adalah aktor kejahatan yang sempurna. Jangan sampai mereka membuat negara dengan segenap institusinya sebagai panggung dari sandiwara perdebatan tanpa usai. Sementara rakyat hanya menjadi penonton yang harus membayar mahal untuk pementasan yang sama sekali tidak bermutu.
M Faishal Aminuddin Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian INDIGO
Senin, 02 November 2009
Peringkat HDI Indonesia
Human Development Index
UNDP pernah mengumumkan, kalau peringkat HDI Indonesia berada di peringkat 112 dari 175 negara. Jauh di bawah negara --negara tetangga kita sekalipun semisal Malaysia, Singapore, Thailand dan Filipina.
Malaysia misalnya, negara jiran yang dulu pernah bersekolah di Indonesia itu menempati peringkat 58, jauh di atas Indonesia yang dulu pernah menjadi gurunya. Thailand berada di peringkat 74; sementara Filipina di peringkat 85.
Mutu Manusia
Pada dasarnya HDI merupakan satuan yang dikembangkan oleh UNDP untuk mengukur keberhasilan pembangunan pada suatu negara. HDI merupakan suatu angka yang diolah berdasarkan tiga dimensi sekaligus; masing-masing adalah panjang usia (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Secara teknis ketiga dimensi ini dijabarkan menjadi beberapa indikator, yaitu kesehatan dan kependudukan, pendidikan serta ekonomi.
Indikator kesehatan menyangkut angka kematian bayi (infant mortality rate), angka kematian balita (under-five mortality rate), dsb. Indikator kependudukan menyangkut usia harapan hidup (life expectancy), penduduk yang tak mempunyai harapan hidup sampai usia 60 tahun (people not expected to survive to age 60), dsb. Indikator pendidikan menyangkut angka melek huruf (literacy rate), anak yang berpendidikan sampai kelas lima sekolah dasar (children reaching grade 5), angka partisipasi pendidikan (enrollment ratio), dsb. Sedangkan indikator ekonomi antara lain menyangkut indeks kemiskinan (poverty index).
Berdasarkan indikator-indikator tersebut jelaslah HDI merupakan ukuran keberhasilan (atau kegagalan) pembangunan kesehatan dan kependudukan, pendidikan, serta ekonomi pada suatu bangsa. Implikasinya HDI yang tinggi menunjukkan keberhasilan pembangunan kesehatan, kependudukan, pendidikan dan ekonomi di suatu negara; sebaliknya HDI yang rendah menunjukkan pembangunan kesehatan, kependudukan, pendidikan dan ekonomi di suatu negara.
Selanjutnya penafsiran HDI sebagai indikator mutu manusia kiranya tidak terlalu salah sepanjang satuannya adalah bangsa atau manusia di negara tertentu, dan konteksnya terbatas pada kesehatan, kependudukan, pendidikan dan ekonomi. HDI bukanlah ukuran mutu manusia dalam satuan individu atau orang per orang.
Apakah publikasi UNDP yang mendudukkan Indonesia di peringkat 112 dari 175 negara untuk tahun 2003 menunjukkan bahwa mutu manusia Indonesia rendah? Untuk menjawab masalah ini perlu kita pelajari sistem publikasi UNDP itu sendiri. Dalam mempublikasi laporan tahunannya, UNDP mengklasifikasi negara-negara di dalam kelompok tinggi (high human development) dengan indeks di atas 0,800; kelompok menengah (medium human development) dengan indeks 0,501 sampai dengan 0,800; serta kelompok rendah (low human development) dengan indeks di bawah 0,500.
Indonesia dengan indeks 0,682 dimasukkan di dalam kelompok menengah, yaitu pada peringkat 112 dari 175 negara. Di kelompok menengah ini terdapat banyak negara tetangga kita seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Di luar itu ada Meksiko, Brasilia, Rusia, dan Cina. Di kelompok tinggi ada nama-nama Singapura, Norwegia, Eslandia, Australia, Jepang, Amerika Serikat (AS); sedangkan di kelompok rendah terdapat nama-nama Nepal, Bangladesh, Togo, Nigeria, Mauritania, Angola, dan Burundi.
Melihat data tersebut, prestasi Indonesia tidaklah terlalu buruk, setidak-tidaknya lebih baik dari negara-negara yang berada di kelompok rendah. Mutu manusia Indonesia sedang-sedang saja. Mutu manusia Indonesia lebih baik dibanding Nepal, Bangladesh, Togo, Mauritania, Nigeria, dan Angola; tetapi lebih buruk dibanding Singapura, Norwegia, Eslandia, Australia, Jepang, dan AS.
Persoalannya ialah, mengapa mutu manusia Indonesia lebih rendah atau lebih buruk daripada Vietnam (109), Filipina (85), Thailand (74), Malaysia (58), dsb? Mengapa mutu manusia Indonesia berada jauh di bawah Brunei Darussalam (31), Singapura (28), dan Australia (11) yang ketiganya berada di kelompok tinggi? Mengapa mutu manusia Indonesia lebih rendah daripada kelompok manusia di sekitarnya?
Tiga Kata Kunci
Lebih buruknya mutu manusia Indonesia dibanding Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Australia harus kita akui untuk kemudian dapat kita jadikan alat pemicu dan pemacu untuk memperbaiki diri.
Ada tiga kata kunci untuk meningkatkan mutu kita; masing-masing adalah visi, komitmen, dan disiplin. Dalam hal visi kita bisa belajar dari Malaysia misalnya. Negeri Jiran yang satu ini semenjak pertengahan tahun '90-an sudah membuat visi yang dikenal dengan Malaysia 2020.
Pada pertengahan tahun '90-an pemerintah Malaysia sudah memiliki gambaran masyarakat Malaysia seperempat abad ke depan sehingga program-program pembangunan di negara tetangga itu difokuskan pada pencapaian visi. Siapapun yang berkuasa dan memimpin negeri akan selalu berpegang pada visi yang telah menjadi kesepakatan bangsa. Dengan demikian segala upaya di- sinergikan untuk mencapai visi.
Dalam hal komitmen kita bisa belajar dari Thailand misalnya. Ketika Thailand dan Indonesia sama-sama dibantai krisis pertengahan 1997 ternyata kedua negara benar-benar porak-poranda. Bangsa Thailand ternyata mempunyai komitmen yang kuat untuk mengakhiri krisis. Komitmen ini diimplementasi ke tingkat operasional.
Dalam hal disiplin kita dapat belajar dari Singapura. Negara yang mungil ini bisa menjadi maju dan menjadi pusat perhatian dunia karena kedisiplinan di berbagai bidang dijunjung tinggi.
Apakah kita telah memiliki visi, komitmen dan disiplin untuk lebih memajukan manusia Indonesia?
Apakah kita berani mengambil pelajaran dari publikasi UNDP tersebut untuk belajar dari negara-negara lain yang lebih maju, khususnya negara tetangga kita? Itu semua sangat tergantung kepada komitmen kita bersama.
Jadi jika diliat dari uraian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa indikator disiplin belajar itu adalah :
1.Keuletan
2.Keyakinan
3.Semangat dan
4.Kepedulian
>keuletan : tanpa ini kita tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berkualitas.
>Keyakinan : jika kita tidak yakin apa yang akan kita lakukan, untuk apakah kita belajar.
>semangat : tanpa semangat tidak akan ada rasa keinginan untuk belajar.
>Kepedulian : Belajar untuk kepentingan bersama dan tidak untuk kepentingan Individual semata.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat menginspirasi kita semua.
Minggu, 01 November 2009
Tips Cara Hidup Bahagia
Orang yang ingin hidup bahagia perlu menjaga empat perkara.
Pertama : teguh menjaga kehormatan.
Kedua : rela menerima apa yang sedikit.
Ketiga : berbuat kebaikan setiap hari.
Keempat : memelihara lidah dari perkataan yang kotor.
Kita akan merasa bahagia apabila orang merasa senang dengan kita dan
mencintai diri kita seperti mencintai dirinya sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)