Human Development Index
UNDP pernah mengumumkan, kalau peringkat HDI Indonesia berada di peringkat 112 dari 175 negara. Jauh di bawah negara --negara tetangga kita sekalipun semisal Malaysia, Singapore, Thailand dan Filipina.
Malaysia misalnya, negara jiran yang dulu pernah bersekolah di Indonesia itu menempati peringkat 58, jauh di atas Indonesia yang dulu pernah menjadi gurunya. Thailand berada di peringkat 74; sementara Filipina di peringkat 85.
Mutu Manusia
Pada dasarnya HDI merupakan satuan yang dikembangkan oleh UNDP untuk mengukur keberhasilan pembangunan pada suatu negara. HDI merupakan suatu angka yang diolah berdasarkan tiga dimensi sekaligus; masing-masing adalah panjang usia (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Secara teknis ketiga dimensi ini dijabarkan menjadi beberapa indikator, yaitu kesehatan dan kependudukan, pendidikan serta ekonomi.
Indikator kesehatan menyangkut angka kematian bayi (infant mortality rate), angka kematian balita (under-five mortality rate), dsb. Indikator kependudukan menyangkut usia harapan hidup (life expectancy), penduduk yang tak mempunyai harapan hidup sampai usia 60 tahun (people not expected to survive to age 60), dsb. Indikator pendidikan menyangkut angka melek huruf (literacy rate), anak yang berpendidikan sampai kelas lima sekolah dasar (children reaching grade 5), angka partisipasi pendidikan (enrollment ratio), dsb. Sedangkan indikator ekonomi antara lain menyangkut indeks kemiskinan (poverty index).
Berdasarkan indikator-indikator tersebut jelaslah HDI merupakan ukuran keberhasilan (atau kegagalan) pembangunan kesehatan dan kependudukan, pendidikan, serta ekonomi pada suatu bangsa. Implikasinya HDI yang tinggi menunjukkan keberhasilan pembangunan kesehatan, kependudukan, pendidikan dan ekonomi di suatu negara; sebaliknya HDI yang rendah menunjukkan pembangunan kesehatan, kependudukan, pendidikan dan ekonomi di suatu negara.
Selanjutnya penafsiran HDI sebagai indikator mutu manusia kiranya tidak terlalu salah sepanjang satuannya adalah bangsa atau manusia di negara tertentu, dan konteksnya terbatas pada kesehatan, kependudukan, pendidikan dan ekonomi. HDI bukanlah ukuran mutu manusia dalam satuan individu atau orang per orang.
Apakah publikasi UNDP yang mendudukkan Indonesia di peringkat 112 dari 175 negara untuk tahun 2003 menunjukkan bahwa mutu manusia Indonesia rendah? Untuk menjawab masalah ini perlu kita pelajari sistem publikasi UNDP itu sendiri. Dalam mempublikasi laporan tahunannya, UNDP mengklasifikasi negara-negara di dalam kelompok tinggi (high human development) dengan indeks di atas 0,800; kelompok menengah (medium human development) dengan indeks 0,501 sampai dengan 0,800; serta kelompok rendah (low human development) dengan indeks di bawah 0,500.
Indonesia dengan indeks 0,682 dimasukkan di dalam kelompok menengah, yaitu pada peringkat 112 dari 175 negara. Di kelompok menengah ini terdapat banyak negara tetangga kita seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Di luar itu ada Meksiko, Brasilia, Rusia, dan Cina. Di kelompok tinggi ada nama-nama Singapura, Norwegia, Eslandia, Australia, Jepang, Amerika Serikat (AS); sedangkan di kelompok rendah terdapat nama-nama Nepal, Bangladesh, Togo, Nigeria, Mauritania, Angola, dan Burundi.
Melihat data tersebut, prestasi Indonesia tidaklah terlalu buruk, setidak-tidaknya lebih baik dari negara-negara yang berada di kelompok rendah. Mutu manusia Indonesia sedang-sedang saja. Mutu manusia Indonesia lebih baik dibanding Nepal, Bangladesh, Togo, Mauritania, Nigeria, dan Angola; tetapi lebih buruk dibanding Singapura, Norwegia, Eslandia, Australia, Jepang, dan AS.
Persoalannya ialah, mengapa mutu manusia Indonesia lebih rendah atau lebih buruk daripada Vietnam (109), Filipina (85), Thailand (74), Malaysia (58), dsb? Mengapa mutu manusia Indonesia berada jauh di bawah Brunei Darussalam (31), Singapura (28), dan Australia (11) yang ketiganya berada di kelompok tinggi? Mengapa mutu manusia Indonesia lebih rendah daripada kelompok manusia di sekitarnya?
Tiga Kata Kunci
Lebih buruknya mutu manusia Indonesia dibanding Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Australia harus kita akui untuk kemudian dapat kita jadikan alat pemicu dan pemacu untuk memperbaiki diri.
Ada tiga kata kunci untuk meningkatkan mutu kita; masing-masing adalah visi, komitmen, dan disiplin. Dalam hal visi kita bisa belajar dari Malaysia misalnya. Negeri Jiran yang satu ini semenjak pertengahan tahun '90-an sudah membuat visi yang dikenal dengan Malaysia 2020.
Pada pertengahan tahun '90-an pemerintah Malaysia sudah memiliki gambaran masyarakat Malaysia seperempat abad ke depan sehingga program-program pembangunan di negara tetangga itu difokuskan pada pencapaian visi. Siapapun yang berkuasa dan memimpin negeri akan selalu berpegang pada visi yang telah menjadi kesepakatan bangsa. Dengan demikian segala upaya di- sinergikan untuk mencapai visi.
Dalam hal komitmen kita bisa belajar dari Thailand misalnya. Ketika Thailand dan Indonesia sama-sama dibantai krisis pertengahan 1997 ternyata kedua negara benar-benar porak-poranda. Bangsa Thailand ternyata mempunyai komitmen yang kuat untuk mengakhiri krisis. Komitmen ini diimplementasi ke tingkat operasional.
Dalam hal disiplin kita dapat belajar dari Singapura. Negara yang mungil ini bisa menjadi maju dan menjadi pusat perhatian dunia karena kedisiplinan di berbagai bidang dijunjung tinggi.
Apakah kita telah memiliki visi, komitmen dan disiplin untuk lebih memajukan manusia Indonesia?
Apakah kita berani mengambil pelajaran dari publikasi UNDP tersebut untuk belajar dari negara-negara lain yang lebih maju, khususnya negara tetangga kita? Itu semua sangat tergantung kepada komitmen kita bersama.
Jadi jika diliat dari uraian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa indikator disiplin belajar itu adalah :
1.Keuletan
2.Keyakinan
3.Semangat dan
4.Kepedulian
>keuletan : tanpa ini kita tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berkualitas.
>Keyakinan : jika kita tidak yakin apa yang akan kita lakukan, untuk apakah kita belajar.
>semangat : tanpa semangat tidak akan ada rasa keinginan untuk belajar.
>Kepedulian : Belajar untuk kepentingan bersama dan tidak untuk kepentingan Individual semata.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat menginspirasi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar